Apa Saja Pendekatan Rapid Biodiversity Assessment?

KOORDERS INSTITUTE – Menurut Oliver & Beattie (1996) dalam buku Dasar-Dasar Ekologi Kuantitatif (Rahman, 2021), terdapat empat kategori umum mengenai pendekatan RBA, yakni: (a) sampling surrogacy, yaitu pembatasan penarikan contoh pada tempat penarikan contoh intensif; (b) species surrogacy, yaitu penggunaan tingkat taksonomi yang lebih tinggi dari spesies; (c) taxonomic surrogacy, yaitu penggunaan unit taksonomi yang telah teridentifikasi yang dapat dikenali oleh orang-orang yang bukan ahlinya; dan (d) taxon-focusing, yaitu penggunaan taksa tertentu pada suatu tempat yang dapat mewakili seluruh taksa.

Daftar Isi

1. Sampling Surrogacy

Dikutip dari Buku Dasar-Dasar Ekologi Kuantitatif, pendekatan sampling surrogacy untuk penilaian keanekaragaman hayati secara cepat mencakup pengurangan penarikan contoh, yakni jangka waktu penarikan contoh yang lebih pendek, pengurangan jumlah metode penarikan contoh yang dikerjakan, penggunaan metode penarikan contoh yang kurang intensif dibandingkan pada umumnya seperti melakukan teknik subsampling terhadap material yang ada. 

Metode ekstrapolasi statistik dapat digunakan untuk menduga kekayaan spesies dari data yang dihasilkan melalui penarikan contoh yang dikurangi (Ward & Larivière 2004). Frekuensi dan intensitas penarikan contoh merupakan faktor penting dalam penentuan usaha penarikan contoh untuk pemantauan kekayaan spesies. 

Perancangan penarikan contoh dalam survei harus mempertimbangkan beberapa hal, yakni: (a) penarikan contoh harus meminimalkan penurunan kualitas data sehingga survei harus memiliki ulangan yang mencukupi untuk analisis statistik dan (b) metode penarikan contoh tidak dilakukan untuk mengumpulkan semua spesies dengan jumlah yang sama (Ward & Larivière 2004). 

Sebagai contoh, pitfall trap digunakan secara luas untuk menangkap semut, tetapi jika digunakan secara sendirian maka metode ini menghasilkan kekayaan spesies semut dengan jumlah yang berada di bawah rata-rata sesungguhnya karena semut yang berada pada bawah lantai hutan, tanah atau vegetasi tidak terambil (Majer 1997).

2. Species Surrogacy

Penggunaan tingkat taksonomi selain spesies seperti genus, famili dan ordo telah mendapatkan perhatian besar dalam RBA. Menurut Rahman (2021) dalam buku Dasar-Dasar Ekologi Kuantitatif, tingkat taksonomi yang lebih tinggi sering kali digunakan di bidang kelautan dan lingkungan perairan tawar karena terdapat respons terhadap gradien lingkungan yang lebih mudah diperkirakan dan spesies memiliki persyaratan ekologis yang sama. 

Di kawasan berhutan kekayaan spesies semut dapat diduga melalui kekayaan genera semut yang memiliki hubungan antara genera dengan spesies semut mendekati 1:1 atau monospesifik. Namun demikian di kawasan gersang hubungan antara genera dan kekayaan spesies tidak kuat karena genera di kawasan ini memiliki spesies yang banyak. 

Oleh karena itu, kekayaan genus sebagai ukuran kekayaan spesies dapat diterima hanya untuk kondisi terbatas dan dapat dibaurkan oleh habitat, biogeografi dan usaha penarikan contoh (Andersen 1995). Menurut Ward & Larivière (2004) dalam buku Dasar-Dasar Ekologi Kuantitatif (Rahman, 2021), keuntungan penggunaan tingkat taksonomi yang lebih tinggi dalam survei adalah biaya dapat berkurang sangat banyak karena waktu yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi spesimen pada tingkat spesies tidak diperlukan. 

Namun demikian, New (1998) tidak sependapat jika tingkat taksonomi yang lebih tinggi dari spesies digunakan secara luas karena termasuk ekosistem terestrial. Hal ini karena ekosistem terestrial memiliki kekayaan spesies dan heterogenitas ekologis yang lebih tinggi dibanding dengan ekosistem lautan dan perairan tawar. 

Selain itu tingkat taksonomi yang lebih tinggi sering kali terdiri atas berbagai spesies yang memiliki tipe dan tingkat trofik berbeda. Akibatnya respons spesies secara individual tertutupi oleh analisis pada tingkat yang lebih tinggi (Ward & Larivière 2004).

3. Taxonomic Surrogacy

Penggunaan unit taksonomi yang dikenal sebagai RTU atau morphospecies (MSP) atau unit taksonomi operasional (OTU) telah banyak dianjurkan, di mana RTU bertindak sebagai pengganti untuk identifikasi tingkat spesies (Beattie & Oliver 1994). 

Mengutip dalam Buku Dasar-Dasar Ekologi Kuantitatif, pendekatan ini telah mendapat perhatian barubaru ini di RBA dan cukup kontroversial karena beberapa ahli ekologi mengganggap terjadi pengurangan “akurasi” dalam identifikasi spesimen (Brower 1995). 

Namun demikian “parataksonomis” (ahli taksonomi nonspesialis) menyatakan bahwa metode ini dapat meningkatkan efektivitas biaya (Cranston & Hillman 1992). 

Oliver & Beattie (1995) menguji hubungan antara identifikasi tingkat RTU oleh non-spesialis dan identifikasi spesies oleh ahli taksonomi spesialis dari perangkap lubang dan sampel serasah pada semut, kumbang dan laba-laba dari empat tipe hutan Australia. 

Perkiraan kekayaan spesies semut dan laba-laba hanya sedikit berbeda antara RTU dan inventarisasi spesies sebenarnya.

Referensi Buku

Rahman, Dede Aulia. 2021. Dasar-Dasar Ekologi Kuantitatif. Penerbit IPB Press. Bogor

Referensi Lainnya

  1. Andersen AN. 1995. Measuring more of biodiversity: genus richness as a surrogate for species richness in Australian ant faunas. In: Ward DF, Larivière M-C. 2004. Terrestrial invertebrate surveys and rapid biodiversity assessment in New Zealand: lessons from Australia. New Zealand Journal of Ecology 28 (1): 151–159.
  2. Beattie AJ, Oliver I. 1994. Taxonomic minimalism. Trends in Ecology and Evolution 9: 488–490.
  3. Brower AVZ. 1995. Reply to Beattie and Oliver. Trends in Ecology and Evolution 10: 204.
  4. Cranston P, Hilman T. 1992. Rapid Assessment of Biodiversity using “Biological Diversity Technicians”. Australian Biologist 5 (3): 144- 154
  5. Majer JD. 1997. The use of pitfall traps for sampling ants-a critique. In: Ward DF, Larivière M-C. 2004. Terrestrial invertebrate surveys and rapid biodiversity assessment in New Zealand: lessons from Australia. New Zealand Journal of Ecology 28 (1): 151–159
  6. Oliver I, Beattie AJ. 1996. Designing a cost-effective invertebrate survey: a test of methods for rapid assessment of biodiversity. Ecological Applications 6: 594–607.
  7. New TR. 1998. Invertebrate surveys for conservation. In: DF Ward and M-C Larivière. 2004. Terrestrial invertebrate surveys and rapid biodiversity assessment in New Zealand: lessons from Australia. New Zealand Journal of Ecology 28 (1): 151–159.
  8. Oliver I, Beattie AJ. 1996. Designing a cost-effective invertebrate survey: a test of methods for rapid assessment of biodiversity. Ecological Applications 6: 594–607.
  9. Ward DF, Larivière M-C. 2004. Terrestrial invertebrate surveys and rapid biodiversity assessment in New Zealand: lessons from Australia. New Zealand Journal of Ecology 28 (1): 151–159.

bagikan artikel

Share on facebook
Share on email
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

One Comment

Leave a Reply to koorders Cancel

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Archives

Categories